بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على سيدنا محمد، وعلى آله وصحبه أجمعين، أما بعد:
Kami sangat prihatin sekali dengan langkah Pemerintah Indonesia terkait penanggulangan Virus Covid-19. Di satu sisi, pemerintah berencana menutup pasar-pasar dan tempat-tempat ibadah, dengan dalih meminimalisir penyebaran virus Corona. Sedangkan di sisi lain Supermarket, Swalayan, Minimarket, AlfaMart, IndoMart dan bank, masih diizinkan buka.
Kalau kebijakan ini benar-benar direalisasikan, bagaimana nasib perekonomian rakyat menengah ke bawah? Bagaimana pula nasib pedagang kaki lima (PKL) yang di suruh tutup, sementara setiap harinya mereka butuh makan, menafkahi keluarga, membayar tanggungan listrik, PDAM dan kebutuhan lainnya. Mereka rakyat kecil yang hidupnya bergantung dengan berjualan di pasar, buka warung di pinggir jalan sebagai pedagang asongan. Jangan samakan mereka dengan pegawai negeri (PNS), yang tetap mendapat gaji meski diliburkan. Sedari awal, katanya pemerintah menghimbau kepada masyarakat agar tenang dan tidak panik, namun kenapa sekarang membuat kebijakan ganjil yang justru menimbulkan kegaduhan dan kepanikan baru di tengah masyarakat.
Jika pemerintah tetap bersikukuh menerapkan kebijakan tersebut, maka harus dimbangi dengan solusi yang tepat, yakni menjamin semua kebutuhan pokok rakyatnya, seperti mensuplai beras, makanan-minuman dan kebutuhan sehari-hari, memberi subsidi listrik dan air bersih, dan menunda tagihan-tagihan yang membebani rakyat untuk sementara waktu. Dalam hal ini, baitul mal dan orang-orang kaya akan memainkan peranan besarnya, Syaikh Ibn Hajar al-Haitami dan Syaikh Syamsuddin ar-Ramli menandaskan;
ومن ثم منع نحو أبرص وأجذم من مخالطة الناس، وينفق عليهم من بيت المال أي: فمياسيرنا فيما يظهر
“Oleh Karenanya, penderita penyakit belang dan kusta, lepra dilarang keras berinteraksi dengan masyarakat, dan Baitul Mal yang akan menanggung biaya hidupnya, lalu kemudian para donator kaya…” (Tuhfatul Muhtaj, 2/276, Nihayatul Muhtaj 2/160).
Namun jika melihat neraca keuangan negara saat ini, rasanya mustahil pemerintah bisa menerapkan solusi demikian. Alangkah baiknya jika rezim ini meminta bantuan para taipan naga sembilan, yang katanya menjadi mitra terdekatnya, siapa tau mereka mau membantu, slogannya aja paling pancasialis, paling patriot!
Bahkan belakangan ini, presiden mewacanakan untuk pembelian obat malaria dan vaksin yang akan diuji coba untuk pengobatan corona, padahal menurut informasi, obat itu belum jelas khasiatnya, bukan untuk mengobati, tapi justru malah menambah parah. Langkah pemerintah untuk membeli obat pun terkesan terlambat karena di mana-mana korban sudah berjatuhan. Lalu siapa yang bertanggungjawab? Jelas pemerintah! karena selama ini telah lalai dan terkesan diam dan acuh tak acuh terkait virus corona tersebut.
Pengadaan obat-obat tersebut juga rawan dijadikan proyek korupsi seperti kasus megakorupsi jiwasraya, ASABRI dll. Pemerintah juga menolak usulan lockdown secara Nasional, mungkin tujuannya agar WNA dan investor China tetap leluasa keluar-masuk di negeri ini, sebab kedatangan mereka memang menguntungkan secara materi. Disamping itu, pemerintah tidak memiliki cukup biaya untuk menerapkan lockdown. Kenapa opsi penyelamatan via lockdown tidak diusahakan, padahal beberapa negara sudah bisa mengendalikan virus Covid-19 dengan kebijakan lockdown. Apalagi jauh-jauh hari, syari’at Islam sudah mengintruksikan lockdown jika suatu daerah terkenah wabah penyakit/ Tho’un, pun demikian WHO, organisasi terbesar di dunia dalam bidang kesehatan juga sudah merekomendasikan, lalu apa keberatan pemerintah melaksanakan ikhtiar baik ini? ataukah pemerintah sudah menyiapkan gebrakan baru untuk menangani pandemi? Semoga saja! Kami sangat menyayangkan sikap pemerintah, yang ketika dikritik soal penanganan virus corona, malah justru meminta bantuan kepada para nelayan dan buruh, padahal hak mereka sudah dikebiri dengan UU Omnibus Law.
Dalam menghadapi krisis, hendaknya pemerintah meningkatkan kepercayaan publik, menghindari statement controversial, menghentikan pembiayaan para Buzzer yang bertugas menyerang rakyat yang kontra pemerintah. Untuk saat ini, mungkin lockdown adalah langkah paling jitu meminimalisir penyebaran Covid-19, jika pemerintah tidak ingin negaranya bernasib seperti Italia, Spanyol, Iran dan Korea, maka segera lakukan lockdown, tentunya dengan menyiapkan sarana dan prasarana yang memadai! sebab kemaslahatan umat menjadi prioritas utama. Qowa’idl Fiqhiyyah menandaskan;
تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة
“Kebijakan pemimpin terhadap rakyat harus berdasarkan kemaslahatan”
Kami sangat keberatan jika aktifitas shalat jama’ah, shalat jum’at, berjabat tangan sesama muslim satu jenis, kegiatan belajar-mengajar dalam sekolah dan madrasah dilarang hanya karena ketakutan berlebihan dengan penularan Covid-19, lalu kemudian dikorelasikan dengan Qoidah fiqhiyyah yang berbunyi;
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Mencegah bahaya lebih didahulukan dari pada menarik kemaslahatan”
Padahal jika dianalisis lebih lanjut, penerapan Qoidah ini untuk realitas NKRI secara keseluruhan justru mengarah pada cacat argumentasi, pasalnya virus Covid-19 ini belum menjangkiti seluruh penduduk Indonesia, sehingga komparasi penakaran antara maslahat dan mafsadah tidak berimbang. Jadi untuk konteks NKRI, mafsadah yang ditimbulkan Covid-19 masih mauhumah (belum nyata), sedangkan maslahat sholat jama’ah dan sholat jum’at sudah muhaqqoqoh (nyata), jika realitanya demikian, mestinya terkena Qoidah fiqhiyyah yang berbunyi:
لا يجوز تعطيل المصالح المحققة أو الغالبة خوفا من وقوع المفاسد الموهومة أو النادرة
“Tidak boleh mengabaikan maslahat yang sudah nyata, hanya karena takut terjerumus pada mafsadah yang belum nyata atau yang langka” (al-Qowa’id al-Kubro:89)
Sehingga larangan sholat berjama’ah atau sholat jum’at atas dasar mafsadah mauhumah tidak memiliki relevansi dalil syar’i, bahkan jika ditelisik lebih detail menurut nalar fiqhiyyah, untuk skala nasional, Sholat jama’ah dan sholat jum’at tidak boleh dilarang, dengan pertimbangan sebuah Qoidah Fiqhiyyah:
المصلحة المحققة مقدمة على المفسدة الموهومة
“Kemaslahatan yang nyata wajib didahulukan dari pada mafsadah yang belum nyata”
Jika mereka berdalih, Covid-19 lebih bahaya dari pada udzur-udzur shalat jama’ah-jum’at yang tertera dalam kutubussalaf, jadi melarang aktifitas sholat berjama’ah-sholat jumat lebih awlawi. Maka kami jawab, udzur-udzur yang tertera dalam fiqh seperti sakit, hujan, dan lain sebagainya itu sifatnya personal (berlaku bagi perorangan) bukan komunal (berlaku bagi semua orang), jadi perlu penjernihan pemahaman terhadap teks fiqhi, agar tidak salah dalam menginterpretasikan kalamul fuqoha’.
Beda halnya jika suatu daerah sudah ditetapkan darurat Covid-19, seperti Jakarta misalnya, kami sendiri belum mengetahui detail permasalahannya, Wallahu a’lam. Akan tetapi yang harus dicatat, perlu adanya pemilahan yang selektif, kan tidak semua desa di Jakarta terdampak Covid-19, sehingga satu desa dengan desa yang lain harus ada standar hukum yang berbeda, hal ini karena memperhatikan hukum kewajiban mendirikan sholat jum’at pakai standar Suurul balad (batas desa), sehingga masing-masing desa memiliki hukum tersendiri (لكل بلد حكمه), jadi tidak boleh di-gebyah uyah.
Oleh karenanya, masih terkena hukum wajib jum’atan bagi setiap orang yang tidak terpapar Covid-19, meski pada pelaksanaannya, jumlah peserta jumatan tidak mencapai 40 orang, karena masih banyak qoul ulama yang memperbolehkan mendirikan jum’atan dengan peserta kurang dari 40 orang. Walhasil jangan sampai terjadi Ta’thilul masjid anil jama’ah wal jum’ah.
Adapun jika ada warga yang terpapar positif Covid-19, maka pemerintah harus mengisolasinya, menangani secara khusus, ia tidak boleh berinteraksi dengan orang lain, sebagaimana konsep fiqh melarang penderita penyakit lepra, kusta dan belang. Ia tidak boleh menghadiri sholat jama’ah dan sholat jum’at di masjid, karena bahaya penularannya sangat besar. Jadi sangat tidak masuk akal melarang seseorang yang masih sehat untuk pergi ke masjid karena dikhawatirkan terkena Covid-19, dengan melalui pendekatan analogi terhadap penderita lepra dan kusta, ini jelas qiyas ma’al fariq!
Bahkan menurut hemat kami, jika ada sekelompok orang yang hidup di kawasan zona merah, karena ketebalan keimanannya, mereka berani keluar ke masjid untuk menunaikan shalat jama’ah-shalat jum’at, atau keluar dari rumahnya untuk mencari nafkah keluarga, lalu kemudian mereka wafat karena tertular Covid-19, maka sungguh mereka tergolong syuhada’, bukan sebagai orang yang mati konyol karena bunuh diri (ilqo’unnfasi ila attahlukah), sebagaimana digembar-gemborkan oleh sebagian fatwa.
Mari kita buka kembali lembar sejarah Rasulullah SAW dan generasi salafussholih dalam menghadapi wabah/ tho’un, apakah dari mereka ada yang sampai offside menutup masjid, atau bahkan Ka’bah?! Simak penjelasan di bawah ini:
ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻨﻬﺎ ﺯﻭﺝ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻟﺖ ﺳﺄﻟﺖ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻦ اﻟﻄﺎﻋﻮﻥ ﻓﺄﺧﺒﺮﻧﻲ ﺃﻧﻪ ﻋﺬاﺏ ﻳﺒﻌﺜﻪ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﻳﺸﺎء ﻭﺃﻥ اﻟﻠﻪ ﺟﻌﻠﻪ ﺭﺣﻤﺔ ﻟﻠﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﻟﻴﺲ ﻣﻦ ﺃﺣﺪ ﻳﻘﻊ اﻟﻄﺎﻋﻮﻥ ﻓﻴﻤﻜﺚ ﻓﻲ ﺑﻠﺪﻩ ﺻﺎﺑﺮا محتسبا ﻳﻌﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺼﻴﺒﻪ ﺇﻻ ﻣﺎ ﻛﺘﺐ اﻟﻠﻪ ﻟﻪ ﺇﻻ ﻛﺎﻥ ﻟﻪ ﻣﺜﻞ ﺃﺟﺮ ﺷﻬﻴﺪ.
“Sayyidah Aisyah ra bertanya pada Nabi saw tentang tha’un. Nabi saw menceritakan bahwa sesungguhnya tha’un itu merupakan adzab yang dikirim Allah swt pada siapa yang dikehendaki, dan Allah menjadikannya rahmat bagi orang-orang mukmin. Tidaklah seseorang tertimpa tha’un, lalu berdiam di tempat dengan sabar, mengisolasi diri, mengerti tidak ada yang mengenainya selain apa yang telah ditetapkan Allah padanya, kecuali baginya ada pahala seperti mati syahid” (HR. Bukhari: 4/213, no: 3287).
Perlu dicatat, menurut riwayat hadits-hadits shohih, terlebih shohih al-Bukhari, larangan keluar bagi penduduk daerah terdampak tho’un itu adalah keluar dari desa/kota, bukan dari rumah, sebaimana yang diviralkan. Memang ada riwayat imam Ahmad bin Hanbal menggunakan redaksi (fi baitihi) sebagai ganti (fi baladihi), akan tetapi sesuai disiplin ilmu mustholah hadits, kita harus mendahulukan Imam Bukhari, yang lebih shohih. Atau begini, maksud redaksi (fi baitihi) dalam riwayat Imam Ahmad, adalah keluar dari kamar, karena lafadz bait belum tentu bermakna rumah. Jadi pemahaman hadits versi riwayat Imam Ahmad demikian: “Bagi seseorang yang terdampak tho’un, hendaknya ia mengisolasi diri dengan menetap di dalam kamar”. Karena jika hadits ini diartikan larangan keluar rumah, maka akan berkonsekuensi pada larangan sholat berjamaah, sholat jumat, pengurusan jenazah, pencarian nafkah, dan seterusnya, sebagaimana isi kandung fatwa MUI Jateng, apalagi dengan landasan kitab Badzlul Ma’un fi Fadli tho’un!
Karena itu, kami menolak dengan tegas fatwa MUI Jateng, ataupun himbauan dari ormas-ormas tertentu, yang mengajak umat Islam untuk meninggalkan sholat jama’ah, sholat jumat, dan menjauhi masjid. Ini sungguh musibah besar bagi umat Islam, Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.
Menurut hemat kami, Covid-19 belum termasuk kategori tho’un, karena korbannya masih jauh dari tho’un tempo dulu, kalau dulu sampai puluhan ribu, dan memang nyata penyakit yang turun dari langit. Kami sangat curiga, Covid-19 ini bukan penyakit alami, namun sebuah rekayasa besar musuh-musuh Islam, terlebih Zionis-Komunis, untuk menghancurkan tatanan syari’at Islam. Temuan-temuan bukti kongkrit akhir-akhir ini, seperti informasi Covid-19 merupakan virus biologis yang dijadikan senjata pemusnah masal oleh negara tertentu, semakin menelanjangi watak bengis musuh-musuh Islam.
Rasululullah SAW pernah menolak bersalaman dengan seorang lelaki dari delegasi Tsaqif, yang menderita kusta, yang hendat baiat kepada Nabi Muhammad SAW.
وَأَخْرَجَ مُسْلِمٌ مِنْ حَدِيثِ عَمْرِو بْنِ الشَّرِيدِ الثَّقَفِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ فِي وَفْدِ ثَقِيفٍ رَجُلٌ مَجْذُومٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا قَدْ بَايَعْنَاكَ فَارْجِعْ.
“Dalam delegasi Tsaqif (yang akan dibai’at Rasulullah SAW) terdapat seorang laki-laki berpenyakit kusta. Maka Rasulullah mengirim seorang utusan supaya mengatakan kepadanya: “Kami telah menerima bai’at Anda. Karena itu Anda boleh pulang.” (HR. Muslim).
إن عمر خرج إلى الشام فلما كان بسرغ بلغه أن الوباء قد وقع بالشام فأخبره عبد الرحمن بن عوف أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال إذا سمعتم به بأرض فلا تقدموا عليه وإذا وقع بأرض وأنتم بها فلا تخرجوا فرارا منه. صحيح البخاري (5/ 2164)
“Suatu ketika Umar bin Khatthab pergi ke Syam. Setelah sampai di Sargh, dia mendengar bahwa wabah penyakit sedang melanda di Syam. Maka ‘Abdurrahman bin ‘Auf mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “Apabila kamu mendengar wabah berjangkit di suatu negeri, maka janganlah kamu datangi negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, janganlah kamu keluar dari negeri itu karena hendak melarikan diri darinya”. (Hadits Riwayat Bukhari)
Rasululullah SAW pernah menolak bersalaman dengan seorang lelaki dari delegasi Tsaqif, yang menderita kusta, yang hendat baiat kepada Nabi Muhammad SAW.
وَأَخْرَجَ مُسْلِمٌ مِنْ حَدِيثِ عَمْرِو بْنِ الشَّرِيدِ الثَّقَفِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ فِي وَفْدِ ثَقِيفٍ رَجُلٌ مَجْذُومٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا قَدْ بَايَعْنَاكَ فَارْجِعْ.
“Dalam delegasi Tsaqif (yang akan dibai’at Rasulullah SAW) terdapat seorang laki-laki berpenyakit kusta. Maka Rasulullah mengirim seorang utusan supaya mengatakan kepadanya: “Kami telah menerima bai’at Anda. Karena itu Anda boleh pulang.”
Sebuah kisah diriwayatkan dari shahabat Amr bin Al-Ash RA, beliau berkata:
“Ketika mewabahnya penyakit, bangkitlah sahabat Abu Ubaidah bin Al-Jarrah R.A. diantara umat lalu berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya penyakit ini adalah rahmat dari Tuhan kalian dan panggilan dari Nabi kalian, juga (menyebabkan) kematian orang-orang sholih sebelum kalian, dan Abu Ubaidah memohon kepada Allah SWT agar mendapatkan bagian penyakit itu untuknya, sehingga terjangkitlah beliau dan wafatlah ia. Lalu Muadz bin Jabal R.A. menggantikannya memimpin umat, lalu ia bersabda kepada khalayak dan berkata sebagaimana Abu Ubaidah R.A. berkata namun ia menambahkan dengan permohonan agar keluarganya pun mendapatkan penyakit tersebut, maka terjangkitilah putranya bernama Abdurrahman dan meninggallah, maka beliaupun berdoa bagi dirinya maka terjangkitilah ia seraya berkata: “Dengan ini, aku tidak mencintai sedikitpun bagianku di dunia.” lalu wafatlah beliau, dan kemudian digantikan oleh Amru bin Al-Ash R.A., ketika menjadi pemimpin menggantikan pendahulunya namun berbeda pandangan dengan mereka, beliau berseru kepada khalayak umat dengan mengatakan:
أيها الناس ! إن هذا الوجع إذا وقع فإنما يشتعل اشتعال النار فتحصّنوا منه في الجبال.
“Wahai manusia, sesungguhnya penyakit ini apabila menimpa maka ia akan bekerja bagaikan bara api maka bentengilah dari penyakit ini dengan berlari ke gunung-gunung.” (Diriwayatkan dari Imam Ibn Hajar Al-Asqalani dalam kitab Badzlul Maa’un hal 163)
Perhatikan dan renungi dengan seksama fakta-fakta sejarah diatas, jangan gegabah melarang aktifitas sholat berjama’ah dan sholat jum’ah hingga menyebabkan pengosongan dan penutupan masjid, terlebih Ka’bah dan Masjid Nabawi, apa kalian tidak takut ancaman Allah SWT dalam firmannya:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ مَنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَنْ يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَى فِي خَرَابِهَا أُولَئِكَ مَا كَانَ لَهُمْ أَنْ يَدْخُلُوهَا إِلَّا خَائِفِينَ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ[البقرة: 114]
“Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang melarang di dalam masjid-masjid Allah untuk menyebut nama-Nya, dan berusaha merobohkannya? Mereka itu tidak pantas memasukinya kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka mendapat kehinaan di dunia dan di akhirat mendapat azab yang berat”. (Q.S. Al Baqarah : 114)
Apa kalian sudah tidak mantep dengan keutaman memakmurkan masjid yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW.
إِنَّ اللهَ تَعَالَى إِذَا أَنْزَلَ عَاهَةً مِنَ السَّمَاءِ عَلَى أَهْلِ الأرْضِ صُرِفَتْ عَنْ عُمَّارِ الْمَسَاجِدِ.
“Sesungguhnya apabila Allah ta’ala menurunkan penyakit dari langit kepada penduduk bumi maka Allah menjauhkan penyakit itu dari orang-orang yang meramaikan masjid.” (Hadits riwayat Ibnu Asakir (juz 17 hlm 11) dan Ibnu Adi (juz 3 hlm 232)
إِذا أرَادَ الله بِقَوْمٍ عاهةً نَظَرَ إِلَى أهْلِ المَساجِدِ فَصَرَفَ عَنْهُمْ
“Apabila Allah menghendaki penyakit pada suatu kaum, maka Allah melihat ahli masjid, lalu menjauhkan penyakit itu dari mereka” (Riwayat Ibnu Adi (juz 3 hlm 233); al-Dailami (al-Ghumari, al-Mudawi juz 1 hlm 292 [220]); Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbihan (juz 1 hlm 159); dan al-Daraquthni dalam al-Afrad (Tafsir Ibn Katsir juz 2 hlm 341).
يَقُولُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: ” إِنِّي لَأَهُمُّ بِأَهْلِ الْأَرْضِ عَذَابًا فَإِذَا نَظَرْتُ إِلَى عُمَّارِ بُيُوتِي والْمُتَحَابِّينَ فِيَّ والْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ صَرَفْتُ عَنْهُمْ “
“Allah عز وجل berfirman: “Sesungguhnya Aku bermaksud menurunkan azab kepada penduduk bumi, maka apabila Aku melihat orang-orang yang meramaikan rumah-rumah-Ku, yang saling mencintai karena Aku, dan orang-orang yang memohon ampunan pada waktu sahur, maka Aku jauhkan azab itu dari mereka.” (Riwayat al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman 2946)
إِذَا عَاهَةٌ مِنَ السَّمَاءِ أُنْزِلَتْ صُرِفَتْ عَنْ عُمَّارِ الْمَسَاجِدِ
“Apabila penyakit diturunkan dari langit, maka dijauhkan dari orang-orang yang meramaikan masjid” (Riwayat al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman [2947]; dan Ibnu Adi (juz 3 hlm 232). Al-Baihaqi berkata: “Beberapa jalur dari Anas bin Malik dalam arti yang sama, apabila digabung, maka memberikan kekuatan (untuk diamalkan)
Al-Imam al-Sya’bi, ulama salaf dari generasi tabi’in, رحمه الله تعالى berkata:
كَانُوا إِذَا فَرَغُوا مِنْ شَيْءٍ أَتَوُا الْمَسَاجِدَ
“Mereka (para sahabat) apabila ketakutan tentang sesuatu, maka mendatangi masjid” (Al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman (juz 3 hlm 84 2951)
Atau kalian sudah ragu dengan keutamaan ka’bah yang menjadi sumber keberkahan, sebagaimana nash al-Qur’an :
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ (96) فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا [آل عمران: 96، 97]
“Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia, ialah (Baitullah) yang di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seleluruh alam. Disana terdapat tanda-tanda yang jelas, (diantaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa yang memasukinya (Baitullah) amanlah dia” (Q.S. Ali imran : 96-97)
Kenapa yang direkomendasikan tutup hanya masjid, pondok, madrasah dan sekolah? sementara mall, swalayan, supermarket, minimarket, discotik, BAR, Café, Gereja, vihara, klenteng masih bebas beroperasi! Ada apa ini? Tentu ada misi-misi jahat terselubung!
Saat ini masjid-masjid menjadi sepi. Ka’bah yang menjadi tempat paling aman dari segala ketakutan dari musuh atau aman dari segala penyakit sekarang malah diberi sekat dan pembatas, sehingga orang orang yang thawaf tidak bisa mendekat ke tempat thawaf, apalagi mencium hajar aswad.
Sangat disesalkan sekali jika pengurusan jenazah terpapar Covid-19 hanya ditayammumi saja dan tidak dimandikan, karena keadaan belum sampai taraf darurat, apa tidak bisa memandikan jenazah dengan cara disemprot air? Lalu tangan orang yang memandikan dibungkus pelindung?
Majlis ta’lim yang merupakan tempat berdakwah, mengamalkan amar ma’ruf, nahi ‘anil munkar juga dilarang, sementara bank-bank, mall-mall, alfamart, indomart, diskotik tetap beraktifitas, bahkan gereja, wihara, klenteng tidak ditutup. Khotib jum’at harus punya sertifikasi, lalu kenapa pendeta tidak ada sertifikasi? Ini jelas tujuannya ingin menghancurkan akidah Islam, melarang amar ma’ruf nahi munkar, perekonomian negara menjadi bobrok, anak-anak sekolah semakin liar, bermain di jalanan, di warnet-warnet akibat libur sekolah, bahkan menyebabkan maraknya zina, yang justru mempercepat turunnya azab yang murka, Naudzubillah min dzalika.
Fenomena negeri yang memilukan ini tak lain akibat ulah rezim yang zhalim, selalu berpihak kepada komunis, tega menindas rakyatnya sendiri, membiarkan TKA dari China mengobok-obok kekayaan bumi pertiwi. Pada saat di negeri China, masyarakatnya sedang berbondong-bondong untuk mendatangi masjid, kenapa di negeri mayoritas muslim justru sebaliknya? Ketika mereka kompak menggaungkan phobia terhadap Masjid, justru semakin kentara niat jahat mereka, yakni memberi stigma buruk terhadap rumah peribadatan umat Islam, “Masjid sumber penularan Covid-19”. Jika demikian adanya, apakah kemudian mall, sarana transportasi umum, gereja, vihara, klenteng “lebih aman” daripada Masjid?!
Ada apa ini dan pikiran siapa yang mengajak demikian ? jelas ini merupakan proyek zionis besar-besaran Zionis, Syi’ah, Wahhaby, Komunisdan Salibis yang bertujuan merusak akidah islam.
Kami sangat mengapresiasi himbauan Gubernur Sumut, Bapak Edy Rahmayadi dan Bapak Jenderal Gatot Nurmantyo yang berbunyi:
‘’Ayo makmurkan masjid dan galakkan Gerakan Sholat Berjama’ah Untuk Minta Pertolongan Allah..!! (Jadikan Sholat dan Sabar Sebagai Penolongmu..!!) Virus Corona (covid-19) adalah ciptaan Allah dan yang kena pasti juga atas ketetapan Allah SWT.”
Kami sangat setuju dengan arahan medis dari al-Murobbiy Prof. Dr. dr. Syaikh Yusri al-Mishri, beliau menandaskan, “Untuk mencegah virus Covid-19, hendaknya kita harus:
Tidak berlebihan menggunakan obat-obat pembersih seperti alkohol, detol dsb. Karena obat-obat itu bisa memusnahkan bakteri-bakteri baik yang bermanfaat menjaga kita dari bakteri-bakteri jahat. Bakteri baik itulah yang menjadi pertahanan pertama dalam tubuh kita.
Apabila kamu biasa berwudlu dan mencuci tanganmu yang kamu lakukan 5 kali dalam sehari maka kamu aman.Apabila ditambah dengan sabun sebelum dan sesudah makan; maka itu lebih dari cukup.Karena air tidak membunuh bakteri baik. Sementara obat-obat pembersih membunuh bakteri yang baik dan yang buruk, sehingga tanganmu tanpa pasukan penjaga.Ketahuilah, bahwa semua organ tubuhmu ada dihuni bakteri… sampai kotoran (tahi) terdiri dari 70% bakteri, 10% sel mati dan 20% adalah sisa makanan, menunjukkan bahwa kita dijaga Allah SWT dengan begitu banyak pasukan.
Jadi tidak perlu menggunakan obat-obat pembersih, seperti juga tidak usah pakai obat kumur-kumur karena itu bisa merusak kerongkongan.Cukup bersiwak atau sikat gigi, membersihkan sisa makanan setelah makan seperti takhlil (membuang sisa makanan yang menyangkut antara gigi dengan benang dll) seperti yang diajarkan Sayyiduna Rasulullah SAW
Yang mengurung diri hanyalah mereka yang sakit, yang sehat silahkan beraktifitas seperti biasa.
Tidak perlu ketakutan, atau saling menakuti.
Virus tidak hidup kecuali pada suatu yang hidup, dia tidak mematikan kecuali pada seseorang yang punya penyakit lain. Dan virus itu hanya hidup selama 5 hari.
Jadi bagi yang merasa letih atau panas, beristirahatlah, dan menjauh dari orang lain dan meninggalkan ciuman. Jangan menggunakan alat makan/minum bersama-sama, tapi gunakanlah alat pribadi (apalagi sendok atau piring yang nyucinya kurang airnya hanya mengandalkan lemon dan kemudian dilap saja).
Ini hanya sementara, insya Allah akan hilang. Ketika udara panas, virus akan mati.
Umat Islam tidak takut mati, mereka hanya berhati-hati dan berharap husnul khatimah yaitu mati dalam Islam. Orang kafir saja yang ketakutan, tapi kamu juga jangan menjadi sebab kemudharatan bagi mereka.
Perbanyak konsumsi cairan terutama yang panas, seperti yansun, helbah, lemon, vitamin C, mawalih (asinan mungkin), bisa juga degan 1 sendok habbah barakah di pagi hari.
Menggerak-gerakan badan (jalan kaki ke Masjid untuk berjum’atan dan berjama’ah) dan meniggalkan bermalas-malasan,muslim yang kuat lebih baik dari muslim yang lemah.
Kami sangat mendukung pernyataan Hai’ah Ash-Shofwah Al-Malikiyah, bahwa keberadaan virus Covid-19 dapat diqiyaskan dengan wabah tho’un, oleh karena itu, bagi siapa saja yang berada pada Zona Merah (berdasarkan data resmi dari pemerintah) dimohon untuk tidak keluar dari wilayah tersebut, dan bagi yang berada di luar Zona Merah dimohon tidak masuk ke wilayah Zona Merah.
Kami juga sepaham dengan pendapat Dr. Zein bin Muhammad al-Aidrus, Hadramaut, dan juga fatwa Syaikh Ahmad al-Kauri al-Mauritani. Intinya beliau berdua sangat tidak setuju jika penanggulangan Covid-19 dengan cara melarang sholat jama’ah dan jum’ah, karena di generasi salaf tidak pernah terdengar kebijakan seperti itu, justru yang ada tidak boleh masuk ke daerah yang terkena tho’un, bukan tidak boleh masuk masjid, pahami ini! Oleh karenanya, tidak ada kewajiban bagi warga jateng menaati fatwa MUI jateng, karena fatwanya mengandung unsur ma’ashi, Rasulullah SAW bersabda:
لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق
“Tidak ada kewajiban taat kepada makhluk dalam urusan mendurhakai Sang Kholiq”
Alhamdulillah, menurut informasi mahasiswa Mesir, masyarakat mesir masih tetap melakukan shalat jum’at dan shalat berjama’ah, mereka mengabaikan fatwa ulama Azhar. Mari kita tetap waspada dengan selalu menjaga kesehatan dan kebersihan, yang meliputi kebersihan jiwa dan raga serta lingkungan dengan selalu berdo’a, mendekatkan diri dan tawakkal kepada Allah SWT dengan memperbanyak membaca Shalawat, Rotib, Dzikir, Wirid dan Hizb sebagai ikhtiar untuk berlindung dari wabah virus corona tersebut serta melazimkan do’a penangkal racun sebanyak 11 kali setiap usai shalat :
بِسْمِ اللهِ الَّذِيْ لَا يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْئٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيْعِ الْعَلِيْم ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْبَرَصِ وَالْجُنُونِ وَالْجُذَامِ وَمِنْ سَيِّئِ الْأَسْقَامِ .
Yang menjadi poin utama adalah kita harus bertaqwa kepada Allah SWT, dan menjauhi segala bentuk makanan yang haram atau tidak baik untuk kesehatan (أكل الخبائث), mejauhi zina dan pacaran, dan jangan lupa untuk sering berwudlu dan membasuh telapak tangan baik sebelum ataupun sesudah makan dan sebelum wudlu serta sering mengkonsumsi empon-empon semisal temulawak, jahe, pandan dan sebagainya. Dan yang lebih utama kita harus bersangka baik terhadap sesama muslim agar kita selamat dari penyakit dan wabah seperti sekarang ini. Wallahu ‘alam
حسبنا الله ونعم الوكيل نعم المولى ونعم النصير ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم.
Sarang, 27 Rajab 1441 H.
KH. Muhammad Najih Maimoen